Konsentrasi Desainer Terbagi Dua Kubu

Pertarungan ideologi kembali jadi komoditas andalan. Konsentrasi perancang terbelah pada dua kubu: menumpangi mesin waktu menuju masa lampau atau 'melancong ke planet masa depan'.

Kontradiksi dalam industri fesyen bukanlah hal baru. Bahkan kontradiksi laris jadi komoditas andalan dalam proses kreativitas.

Karl Legerfeld, Giorgio Armani, Miccuia Prada, Jean Paul Gaultier, atau Yvest Saint Laurent, pernah mengeruk keuntungan dari mencampur aduk makna feminin maskulin.

Nocolas Ghesquiere, Alber Elbaz, Alexander McQueen, atau Stella McCartney, pernah menjadi pusat pujian saat mengawinkan siluet lurus ramping dan volume. Daftar ini pun bisa bertambah lagi, bila mengurut nama-nama yang pernah mengkloning ikon, merangkai multi era, atau menyilang budaya.

Pertentangan wacana estetika ini pun kembali diangkat sebagai headline kecenderungan busana musim panas 2008. Di Indonesia, bukan tidak mungkin kecenderungan ini hingga sepanjang tahun.

Bila biasanya kontradiksi hanya muncul untuk mendramatisasi tema koleksi perancang, maka tahun ini kontradiksi justru meruncing seperti sebuah konflik dalam suatu pementasan keseluruhan. Konflik ini bahkan membelah arus desain yang lebih ampuh disebut tren, menjadi dua kubu utama.

Kubu satu berlomba-lomba melanglang ke planet masa depan. Sedangkan kubu lainnya tidak sedikit yang memilih memasuki mesin waktu menuju masa lampau. Bukti pertolakan ideologi desain ini terdeskripsi jelas melalui parade kreasi yang dipamerkan di kota-kota kapital.

Jelas sekali bahwa New York yang menganaktirikan idealisme. Sedangkan London dan Milan yang mencengangkan kali ini terpecah konsentrasinya menjadi dua kubu di atas. Bedanya, tidak ada peran antagonis atau protagonis.

Perancang yang memilih melanglang ke planet masa depan diwakili oleh nama-nama seperti Narcisi Rodriguez di New York atau Dolce & Gabbana di Milan.

Sedangkan Hussein Chalayan dan Nicolas Ghesquire di Balenciaga yang mengaku melahap mentah-mentah dalam menerjemahkan konsep futuris setelah menonton film The Electronic Gladioator, Tron (1982), tidak menjanjikan revolusi desain secara signifikan. Namun keberhasilan mendikte tren setahun terakhir, membuatnya masih dipercaya sebagai acuan.

Sedangkan Hussein Chalayan memusatkan pikiran membuat gaun tiga dimensi yang dapat disulap secepat kilat. Mobilitas perempuan masa depan menjadi pertimbangan utama. Hussein tak membuatnya sendiri, tetapi dibantu perancang efek khusus film.

Sedangkan Alber Elbaz di Lanvin fokus pada penanganan bahan berteknologi tingkat tinggi. Nama-nama di atas jelas terobsesi menjadikan era futuristik terealisasi sekarang ini.

Bahkan mereka tak sungkan mendandan perempuan bak androids. Siluet kaku, bersih dan minim rekayasa detail dijadikan pula dominan. Tekstur mengkilap menyerupai plastik-plastik PVC atau patent, termasuk bahan favorit. Komposisi warna tidak jauh-jauh dari palet hitam dan putih, kalaupun bersikap ekstrim hanya tertuju pada sentuhhan metalik, emas, atau perak.

0 komentar:

Posting Komentar

Email subscribe

Daftar dan dapatkan artikel iprodsign multimedia via email.

Copyright © 2011, All Right Reserved. Powered by iprodsign multimedia